Reminisensi

Saya menunggunya di bandara Adisucipto pada suatu siang yang lengas. Tangan kanan memegang gulungan buku gambar A3. Setiap lembar halamannya dipenuhi coretan yang saya buat semalaman untuknya. Sementara tangan kiri menggenggam sebotol minuman vitamin C dosis-tinggi dingin yang baru saja dibeli di kantin bandara. Itu minuman kesukaannya.

Sembari menunggu, lamunan membawa ingatan saya bertamasya ke masa pertemuan pertama dengannya. Ya, saya memang sudah cukup sering melihatnya di koridor kampus. Tapi kami baru benar-benar berbicara pada malam itu, di sebuah acara api unggun di Pantai Kukup. Meski sudah dua setengah tahun berlalu, saya masih ingat betul setiap detail kejadian itu.

Malam itu sedang diadakan pertunjukan seni dan pesta jagung bakar di tepi pantai. Para pengisi acara mempertontonkan kebolehan mereka bernyanyi, bersandiwara, berbalas pantun, dan melawak. Saya berada di tepi kerumunan itu, berjongkok mengipasi bara api yang dipakai untuk membakar jagung.

Saat itulah perempuan itu datang menghampiri, dan bertanya, “Ehm, maaf. Apa jagungnya masih ada?”

Saya terpana. Perempuan itu berwajah malaikat. Dia memiliki mata bundar yang bersinar. Rambutnya yang hitam panjang bergelombang dibiarkan tergerai. Dia mengenakan celana jins tiga perempat biru tua sementara tubuhnya dibalut kaos lengan pendek warna merah marun, kontras dengan kulitnya yang putih ayu. Di pinggangnya, diikatkan jaket coklat dengan model sportif. Sandal jepit mungil bermotif bunga menghiasi kaki mungilnya di antara butiran pasir pantai.

Sedikit kikuk, saya menjawab, “Uhm, masih ada kok, Mbak. Mau yang udah jadi atau aku bakarkan yang baru?”

“Bakar lagi aja yuuk. Aku mau pilih jagungnya, sekalian belajar bakar jagung yang enak”, ujarnya bersemangat. Saya sempat menangkap wangi segar menguar ketika dia menunduk untuk memilih jagung.

Saya pun mengajarkannya cara memilih jagung yang bagus untuk dibakar.

“Pilih yang ndak terlalu muda atau terlalu tua. Daun pembungkusnya harus masih segar, butiran jagungnya tersusun rapat dan ukurannya sama besar. Warnanya, pilih yang kuning keemasan, Mbak”

Dia manggut-manggut, mungkin tanda mengerti, lalu sibuk memilah-milah jagung yang berserakan. Menggemaskan.

“Oiya, nama kamu Panditanegara, kan? Lucu banget.. Artinya apa sih? Bahasa sansekerta, kah?”, tanyanya sambil mengintip butiran jagung di balik daun-daun pelepahnya. Ia menekan-nekan butiran jagung itu dengan serius. Seperti seorang ahli botani saja.

“Ahaha. Bukan, Mbak. Itu nama keluarga. Artinya, pemimpin negara. Nama yang berat ya?”. Saya hampir saja melompat kegirangan karena ngga nyangka dia tahu nama saya.

“Ah, ngga kok”, ia tersenyum geli, “kamu cocok dengan nama itu. Kesannya penuh tanggung jawab..”

“Halah. Tanggung jawab gimana. Saya bisanya cuma bikin jagung bakar, ndak mungkin sampai bisa memimpin negara segala. Itu mustahil. Musykil..”

Tiba-tiba, dia mendekatkan wajahnya ke wajah saya. “If you have it in your mind, you’ll have it in your hand. No such thing as impossible“, ujarnya setengah berbisik. Senyum  tersimpul di ujung bibirnya yang mungil.

Saya hanya tertegun. Melongo.

“Kamu itu lucu ya?”. Dia ngakak dan mencubit lengan saya. Olala!

Menit-menit berikutnya kami lalui dengan membalik-balik jagung bakar di atas panggangan sembari berbincang ringan seputar kuliah, keluarga, film, hingga perdebatan mengenai planet mars dan penyu sisik. Meski baru pertama kali bercakap-cakap dengannya, rasanya seperti teman yang sudah lama saling mengenal. Perempuan itu bukan hanya berwajah malaikat, dia adalah teman diskusi yang asyik.

Angin berbisik. Udara dingin, menggigit. Rembulan tergelincir ke ujung cakrawala.

Berpayung gugusan bintang, malam itu terasa semakin syahdu ketika salah satu pengisi acara di pertunjukan seni memetik gitarnya dan menyenandungkan bait-bait liris lagu Nuggie, Pelukis Malam.

“Rembulan senja, pelan muncul di ufuk Barat

Aku duduk dan hanyut terbuai

Oh bintang kejora susul sang angin malam panjang

Aku diam dan hirup dalam nafas

Dapatkah aku melukis dikau?

Wahai malam panjang, tuntunlah penaku

Melukis wajahmu di dalam kalbu

Wahai malam panjang, buailah diriku..”

Suara wanita di pengeras suara membuyarkan lamunan.

TING TONG

“Mohon perhatian. Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 558 dari Jakarta, telah mendarat. Kami ulangi..”

Saya melirik arloji. Jam 13.15. Aha, sudah waktunya.

***

:: Illustrasi dipinjam dari Deviantart.

15 Tanggapan to “Reminisensi”


  1. 1 rocky September 24, 2008 pukul 10:33 pm

    yooo..ngisi absen pak,pertamaxx..hmmmm,jadi gitu tho ceritanya, dari jagung,dibakar oleh agung, jauh dari gunung, jangan sampe’ nggulung- ngulung,halah..ole!!^^

  2. 2 desnadian September 24, 2008 pukul 11:30 pm

    tiga kata:
    ringan, mengalir, dan deskriptif… 🙂

  3. 3 Teja September 24, 2008 pukul 11:36 pm

    Humn.. Humn..
    [ngaca2 sendiri].. :p

    Lanjutannya dong masjogja..

  4. 4 Elys Welt September 25, 2008 pukul 5:41 am

    ada yg lagi dikangenin nih 🙂

  5. 5 Il Anok September 25, 2008 pukul 1:13 pm

    Ciamik ceritanya. Tampaknya luapan emosi sang pendekar gagah sudah tak tertahan. Yang agak panas dong ceritanya.

    wah, ini edy ya? apa kabar ed? 😀

  6. 6 monyetckp September 25, 2008 pukul 1:15 pm

    wah, keren…..gokil abiss……

    kirain abis liat wajahmu terjadi sesuatu hal (kirain ngapain gitu…!!!!)

    eh,ternyata…she said a wonderful thing…
    ajjiiiiibbb……..

    you’re lucky man…gu2ng….
    kenalin dung….

    wakakakakaka….
    (biar aku gebet….lho???n ak kasih jagung bakar n gado2)
    xixixixixixi….

    it doesn’t matter if u try hard and harder….
    yu2d……

  7. 7 jack September 25, 2008 pukul 5:11 pm

    Flowly Descriptive… with some

    really shows that she’s the one for u.
    U got there, with her.. and the click? yup!! it’s happened..
    congratz ya gung. Ngiri gw sama lo.

    Expecting another great news from u both yaaak…

  8. 8 Nami September 26, 2008 pukul 8:37 pm

    She’s been sent by God for you.Take her and love her.

    Congratulation GUNG!

  9. 9 Nami September 27, 2008 pukul 2:56 am

    teja:yaaa..lanjutannya gungg!!!

    Haha. sabar.. sabar.. haduh nami, susah sekali komen di teh-tarik-gelas-besar-mu. pindah rumah ke wp dong 😀

  10. 11 Imam September 27, 2008 pukul 11:36 am

    Betull kayknya belum rampung nich ceritanya 🙂

  11. 12 Nami September 27, 2008 pukul 11:23 pm

    dulu wordpressnya ada sih..tapi passwordnya lupain..isshh!!!

  12. 13 mutje Oktober 3, 2008 pukul 9:42 am

    masjog.. keliatannya kejadian di pantai kukup tidak ada yang seromantis itu deh.. bukannya sebelum api unggun menyala yang ada adalah hujan.. kemudian kita saling tertusuk duri ikan asin di bawah pos ronda yang reyot.. dan terakhir kamar kontrakannya kebanjiran dengan klimaksnya beberapa anak tidur di kamar mandi karena di luar hujan terus.. ha ha ha
    itu kukup yang mana masjog..

    ^_^

    itu namanya surealisme, khlas 😉

  13. 14 ully si kucing Oktober 6, 2008 pukul 5:52 pm

    wah gung..
    kalo kek gini terus, danur bisa benjol-benjol tiap hari…
    melayang-layang di udara trus kejeduk plafon… 🙂

    *agak sangsi dengan kejadian sebenarnya*

    huehehehehe…

  14. 15 dyra Oktober 13, 2008 pukul 10:25 am

    melting… i’m melting.

    huehehehe

    1st stopping by. saya malah mampir ke blognya Danur dulu, huhu


Tinggalkan komentar




Komentar Terbaru